Aku adalah perempuan yang merasa bahwa lagu Kepada Noor itu dikirim dari sebuah kota di masa lalu. Kota berlampu kuning merkuri yang trotoarnya mengular hingga dini hari, memberangkatkan satu pak sigaret, jaket jins belel dan beberapa halusinasi menuju pagi yang bergegas dan nyaris koyak.
Aku adalah perempuan yang menulis puisi saat pertama kali dikecup angin pukul tujuh itu. Angin yang sama yang menjanjikan hujan pada taman-taman, namun ia malah meniup jajaran kios yang tumbuh ringkih sepanjang terminal. Dan kini aku pun mengapung dalam buai Pecah Seribu menggoyang atap PVC dan helai-helai daun waru.
Aku adalah perempuan yang memuja Chris Martin seraya berjalan di bawah udara terbuka. Memuja keagungan air mancur alun-alun sebagaimana ia mengartikan setiap tetes air mata adalah air terjun. Seperti nama seorang kekasih milik orang lain, atau sebaris kata sandi yang bisa membuka kotak pandora berisi kekosongan dan beberapa keping rasa iba.
Aku adalah perempuan yang tidak pernah tidak merasa sakit saat mencuri dengar Frank Sinatra. Dari kaset pita yang rentan kusut dan terburai seperti ingatan bercinta kita. Dari kekusaman New York yang ia sebut dua kali demi kopi gelato, Demi Lovato, demi surat kabar itu, dan demi sepasang sepatu yang dipoles terburu-buru.
Aku adalah perempuan yang memandangi langit yang menua dari waktu ke waktu. Dari jendela berteralis tembaga, aku menua bersamanya, bersama warna-warna dan nukilan lirik seadanya. “Maybe to your view, I’m just a faintly colored hue…” lalu hari menjadi petang dan lebur segala rindu ke dalam pejam. Ke dalam jatuh cinta yang malam.
Aku adalah perempuan yang tenggelam di bak mandi hotel dengan Arctic Monkeys menggumamkan serenada yang sedemikian ceroboh di kamar 505. Lagu dan lagu dengan chorus yang diulang berkali-kali. Mungkin hingga aku mati.