Pasang

Dalam bah mimpiku semalam
Matamu pualam

Kutemukan
Perahu dan perun buluh
Penanda kau pernah mencintaiku
Dayung kenangan dikayuh percuma namun semua pancang itu hanyut terlalu jauh

Sungai menderu ke laut
Perihal hujan di hulu terbangun dini hari sekali tetapi
Air mataku keburu jatuh

Sebagai rintik yang lerai kau adalah aroma sehelai daun
Selalu terlambat kuhidu

Hanya matamu
Yang pualam itu

Harusnya Raya

~fais un vœu~

Tidurkah kau?
Kekasihku
Melewatkan sebentuk luka kecil pada semesta tapi padaku ia memberi bekas
Amat kentara

Apa-apa yang sedih, yang syahdu, yang lembut, yang pelan, yang dayu
Yang rindu

Selain itu aku tak pernah jatuh
Sesungguh pada kau

Tidurkah kau?
Kekasihku
Perjalanan kita sepanjang tahun-tahun ini
Butuh berapa mimpi lagi?

Perkara Meniadakan

Tinggal apa yang dapat kau ingat dariku selain warna iris mata dan kata. Halaman buku secara rahasia menyimpan tanda tangan, erang angin pada preliminer yang dingin. Dan bab senyap.

Telah terbang sejuta pasang sayap mandar dari bahu ombak. Tali-tali pembatas direntang dari dada yang tinta. Sepanjang pelagik dilabuh aroma arum manis kertas. Naik, turun, kepak, dedas.

Tinggal apa yang dapat kau ingat dariku selain cium yang lancang itu. Gerimis melaut pada halaman-halaman. Nun layang-layang disiul burung-burung. Kian jauh, kian jauh.

Ada yang masih belum kutuliskan karena bersama penghujan kau sepakat menutup rapat setiap pintu. Membiarkanku gemetar dilahap kabut yang sayup. Di luar.

Quotidian

Jika pagi
Ia menggosok tubuhnya dengan api
Menyiasati lebam sisa semalam
Aneka maki dan mimpi basah
Beberapa pagut cium dan kesepian

Di balik cermin
Bayangannya yang telanjang dan memucat
Menyala terbakar
Sekuntum terna crinum tumbuh di dadanya

Lantas ia menjalin rambutnya
Warna merah
Tak henti menguarkan bau duri dari luka-luka akal

Matahari naik sedikit
Langit melompat dan memekik
Angin mengirim teriak
Ia memanjat dari pinggiran lubang tempat sembunyi
Menaksir terang

Sudah siang
Ia memasang seringai sepanjang bibirnya
Orang-orang ditabik
Hatinya tetap terasa cabik

Sepanjang waktu ia bergerak
Menyeduh bercangkir-cangkir kopi
Mengingat-ingat semacam wangi kayu aras dan rosemari
Yang dikekalkan hidungnya

Jelang sore hari
Ia menimbang antara bercinta atau bunuh diri
Lebih berat mana?
Tidak ada yang peduli dengan rupa dan tubuh
Hanya jantungnya yang berdentam-dentam rusuh

Malam arang
Ia memejamkan mata
Sementara ruang-ruang hitam surut ke dalam kenang
Mati rindu
Debu-debu beterbangan

Ihwal Perjalanan

Apakah lempang pandang ke depan yang ditebas kelokan tiba-tiba
Dan di kursi belakang kau tertawa
Berkas cahaya menyelinap dari balik kaca

Apakah setiap pemberhentian
Menyimpan ceritamu
Kemudian kupasang telinga baik-baik
Untuk kau berbisik, “Sayang.”

Apakah kepalamu yang mendekat
Gemetar merambat
Aku menghidu udara penuh dengan harum ros liar dan sejumput serbuk cokelat

Apakah denyut nadi di tangan kanan
Kau mengatupkan jemarimu
Embus angin di atas daunan mendadak diam

Apakah lampau atau kemarin
Aku merasa cukup menyesap rambutmu
Tidak ingin esok lagi
Juga hidup hari ini
Sungguh tidak butuh apa-apa

Aku
Kau saja

Pantun Yang Mana

Langit yang mana
Langit yang mana
Yang berada di atas rambut Tuan sekarang
Apakah langit yang sama
Yang sedang mencengangkan mataku
Memaksa seolah menyelipkan sekesiap salam ke dalam kerjap
Seraya tersenyum
Seraya tersenyum
Diapung lelayang kenangan

Udara yang mana
Udara yang mana
Yang sedang memeluk Tuan sekarang
Apakah udara yang sama
Yang sedang pulang pada pipiku
Mendesakkan rasa sesak bahkan dari semenjak permukaan
Hingga ke dasar
Hingga ke dasar
Dada

Rindu yang mana
Rindu yang mana
Yang sedang Tuan derita sekarang
Apakah rindu yang sama
Yang pernah kita pertukarkan dengan berlembar-lembar gemetar
Di antara debar
Di antara debar
Darah sirap

Tuan di mana
Tuan di mana
Sekarang
Apakah masih di tempat yang sama
Di hari kita bertemu
Di hari Tuan mengambil jantungku

_a posteriori_

Mendekatlah kau padaku
Cinta yang tajam
Mencedera di dalam dada
Sebentar saja
Waktuku mungkin tak lagi lama

Karena kita tidak tahu lelatu terakhir mana yang melompat dari mataku yang berhasil mencapai pipimu 
Menjentik naik dan mendebu
Memiang halus di osikel telingamu

Sungguh api ini membunuhku sesunyi rahasia
Dengan halaman buku cerita dan helai-helai bulu mata
Bisikan nubuat dan jampi-jampi mimpi
Puisi dan gambar-gambar panorama

Nyala ini membiarkanku sendiri dijilat upaya melupa hingga nyaris gila rasanya

Lalu anggap saja tadi kita bertemu
Di setiap kota
Di setiap laut
Di setiap cangkir kopi
Di setiap lirik lagu dangdut
Dan kita pun berpeluk secara lebih maut
Dari rindu

Tentang Hari Yang Sempat Terang

Seperti laron yang limbung
Kota menyenyap dilahap magrib
Hinggapku gemetar
Tanpa tanda kemarau itu aku asing di penghujung bulan-bulan hujan

Tolong
Aku hanya butuh terbang
Aku butuh tempat bermalam sebelum tubuhku terbakar lampu-lampu jalan

Tapi mengapa tidak kau mulai mengepak?
Kata Kala seraya mengecek arlojinya
Kau punya beberapa menit sebelum gelap
Sekejap sebelum senyap turun memeluk setiap batang gerimis
Tapi mengapa kau malah menangis?

Ternyata aku tidak punya sayap
Yang semula kukira aku punya sayap

Tolong!

Seiring taram
Lembar-lembar hujan melebar atas diriku
Yang tinggal keping

Daftar Putar

Aku adalah perempuan yang merasa bahwa lagu Kepada Noor itu dikirim dari sebuah kota di masa lalu. Kota berlampu kuning merkuri yang trotoarnya mengular hingga dini hari, memberangkatkan satu pak sigaret, jaket jins belel dan beberapa halusinasi menuju pagi yang bergegas dan nyaris koyak.

Aku adalah perempuan yang menulis puisi saat pertama kali dikecup angin pukul tujuh itu. Angin yang sama yang menjanjikan hujan pada taman-taman, namun ia malah meniup jajaran kios yang tumbuh ringkih sepanjang terminal. Dan kini aku pun mengapung dalam buai Pecah Seribu menggoyang atap PVC dan helai-helai daun waru.

Aku adalah perempuan yang memuja Chris Martin seraya berjalan di bawah udara terbuka. Memuja keagungan air mancur alun-alun sebagaimana ia mengartikan setiap tetes air mata adalah air terjun. Seperti nama seorang kekasih milik orang lain, atau sebaris kata sandi yang bisa membuka kotak pandora berisi kekosongan dan beberapa keping rasa iba.

Aku adalah perempuan yang tidak pernah tidak merasa sakit saat mencuri dengar Frank Sinatra. Dari kaset pita yang rentan kusut dan terburai seperti ingatan bercinta kita. Dari kekusaman New York yang ia sebut dua kali demi kopi gelato, Demi Lovato, demi surat kabar itu, dan demi sepasang sepatu yang dipoles terburu-buru.

Aku adalah perempuan yang memandangi langit yang menua dari waktu ke waktu. Dari jendela berteralis tembaga, aku menua bersamanya, bersama warna-warna dan nukilan lirik seadanya. “Maybe to your view, I’m just a faintly colored hue…” lalu hari menjadi petang dan lebur segala rindu ke dalam pejam. Ke dalam jatuh cinta yang malam.

Aku adalah perempuan yang tenggelam di bak mandi hotel dengan Arctic Monkeys menggumamkan serenada yang sedemikian ceroboh di kamar 505. Lagu dan lagu dengan chorus yang diulang berkali-kali. Mungkin hingga aku mati.

_requiescat in pace_

Beberapa malam berturut ia selalu memimpikan laut
Berombak dan kedap di dalam telinganya seperti kenangan yang disekap ingatan jahat
Air yang gelap
Memanggilnya dengan igau dan gumam
Ganggang yang dingin untuk tubuh yang panas; Ia terlibat

Ia berpusing dalam pusaran ruang sunyi
Hanya geletar sirip ikan menyapu rongga kosong koral
Dan mata samudera yang redup mesra di atas rambutnya

Dalam megap dadanya yang dendam
Ditingkah bisik rindu gelombang
Ia merasa pulang

Beberapa malam berturut ia selalu memimpikan laut
Bercinta dan berumah
Tinggal dan meninggal di sana